Kamis, 27 Februari 2020

Aku adalah Hawa, Akulah Perempuan Pertama


Aku selalu percaya, kami berdua dilahirkan bersama. Tak ada yang lebih dulu, tak ada yang lebih tahu. Bukan dia yang lebih tua, bukan aku yang lebih kuasa.

Kami tumbuh bersama. Meraba setiap yang tertangkap mata, mengendus satu persatu hal yang baru. Dari sepasang bayi yang bicara hanya dengan air mata, kami menjadi kanak-kanak yang sepanjang hari bermain dan tertawa.

Setiap pagi kami berlarian di antara pohon-pohon yang penuh buah bergelantungan. Pada sore hari kami memetik bunga-bunga yang selalu mekar dan menyerbakkan wewangian. Pada hari-hari tertentu kami mencebur ke telaga penuh madu, berenang dalam cairan yang lengket, lalu saling menjilati tubuh kami hingga masing-masing kami berteriak menahan geli.

Kala rindu matahari kami menuju ke tanah lapang. Merebahkan diri diatas rumput, berpelukan, berguling-gulingan, lalu kembali terlentang. Membiarkan setiap sudut kami dihangatkan matahari, lalu dibelai nyaman oleh tangan-tangan kami. Tanganku di tubuhnya, dan tangannya di tubuhku.

Segala hal bisa kami lakukan. Semua yang kami inginkan bisa kami dapatkan. Kami diciptakan dengan kebebasan. Kami dihadirkan untuk tahu apa itu kebahagiaan. Kami hidup tanpa larangan. Kami lahir bukan untuk ketakutan.

Hingga kemudian tubuhku mekar seiring waktu, dan tubuhnya meninggi melampauiku. Ada sepasang payudara tumbuh di dadaku, sementara sebatang daging terus memanjang di selangkangannya. Kami tak lagi serupa. Dadaku yang ranum terus membuatnya kagum. Belalainya yang kokoh dan menegang, membuatku tak kuasa untuk tidak memegang.

Kami kini sepasang remaja yang penuh hasrat. Di telaga madu tubuh kami berpadu. Kami bercumbu dan saling menjilat. Teriakan kami bukan lagi karena geli. Teriakan ini adalah cara kami berterima kasih pada dia yang menciptakan kami untuk merasakan kenikmatan ini. Pada dia yang telah memahat tubuh kami hingga seindah ini. Dia yang memberi kami indera, dia yang memberi kami hasrat.

Kami lakukan hal yang sama dengan kebahagiaan yang selalu berbeda setiap harinya. Kami jelajahi setiap sudut tubuh, kami lakukan cara-cara baru, yang membuat semua yang ada di sekitar kami menahan cemburu. Pohon-pohon berbisik iri, angin berhembus gelisah, dan langit menyuarakan rindu. Mereka ingin juga merasakan apa yang tengah kami rasakan. Begitu pula dia, sosok makhluk yang dicipta sebagai penjaga. Ia berlari menemui pencipta kami.

“Mereka tidak boleh bersetubuh seperti itu,” katanya pada Tuhan.

“Kenapa?” Tuhan balik bertanya.

“Itu terlalu nikmat, ya Tuhan. Itu berbahaya.”

“Kenapa berbahaya?”

“Semua yang terlalu enak tidak baik untuk kami. Kami akan lupa padamu. Kami bisa lupa menyembahmu.”

“Tapi mereka tidak lupa kepadaku,” jawab Tuhan. “Lagipula aku menciptakan kalian bukan hanya untuk menyembahku sepanjang hari, aku mau kalian bahagia. Karena dengan bahagia, kalian pun akan membuatku bahagia.”

Penjaga tak menyerah. “Bagaimana jika semua makhluk jadi ingin melakukannya?” Ia kembali bertanya.

“Ya tinggal lakukan saja seperti apa yang mereka lakukan,” jawab tuhan

Penjaga itu terdiam. Lalu setengah berbisik ia berkata, “Tapi aku tidak kau ciptakan berpasangan.”

Tuhan tertawa. Lalu ia berkata, “Kenapa kau tak bilang saja dari tadi kau juga ingin merasakan apa yang mereka rasakan.”

Tuhan selalu murah hati. Diciptakannya sesosok makhluk yang serupa dengan diriku untuk jadi pasangan penjaga itu. Penjaga itu kegirangan. Ia sudah tak sabar. Makhluk baru itu ia angkat seperti barang, segera ia bawa pulang. Ia gunakan tubuh itu untuk mendapat nikmat yang ia mau, tanpa pernah bertanya apa perempuan itu mau. Ia jadikan dirinya penuh kuasa, sebab baginya perempuan itu ada untuk melakukan yang ia kata. “Tuhan menciptakanmu untukku. Untuk melayaniku dan mengikuti perintahku,” katanya berulang kali.

Nama tuhan senatiasa ia pinjam untuk membuat perempuan itu menurut dan percaya. Ia jadikan dirinya wakil Tuhan yang mengukur tiap pahala dan dosa. Pahala untuk setiap kepatuhan dan dosa untuk segala bentuk pembangkangan.

Aku tak tahan melihat itu semua. Kutemui Tuhan untuk bertanya, “Apakah memang seperti itu yang kau mau, wahai Tuhan?”

Tuhan menggeleng. “Aku hanya menciptakan kalian. Kalian sendiri yang yang akan menentukan bagaimana hidup kalian.”

Aku kecewa. Tapi kutemukan kebenaran dalam kata-katanya. Ia hanya menciptakan kami. Selanjutnya kehendak kami lah yang akan menentukan nasib kami.

Aku mendatangi perempuan itu. Kuajak dia pergi untuk membebaskan diri. Dia menolak. “Aku diciptakan untuk melayaninya. Aku terbuat dari rusuknya,” kata perempuan itu.
Aku marah sekali.

“Siapa bilang kamu terbuat dari rusuknya?” tanyaku.

Dia diam, tak menjawab pertanyaanku.

“Tuhan yang menciptakanmu, bukan laki-laki itu,” kataku.

Dia tetap diam. Aku tak sabar. Ku tarik tangan perempuan itu keluar dari rumahnya. Pada saat yang bersamaan penjaga itu datang. Merebut perempuan itu dan membawanya masuk kembali ke dalam rumah. Mengurung perempuan itu di dalamnya.

Aku marah kepada laki-laki itu, marah pada pencipta kami yang membiarkan semua ini terjadi. Aku tak tahan lagi tinggal di tempat abadi ini. Aku tak bisa lagi merasakan bahagia ketika tepat di depan mataku ku lihat perempuan lain begitu sengsara dan tak berdaya, sementara aku tak bisa melakukan apa-apa.

Aku memilih menyingkir. Kuajak kekasihku pergi meninggalkan tempat ini. Ia menyambut dengan senang hati. Ini akan jadi perjalanan kami. Kami akan mendapat kebebasan seutuhnya: Di mana setiap hal yang terjadi merupakan buah dari kehendak kami. Kami akan jadi manusia yang sebenarnya: Yang tak hanya hidup untuk kenikmatan kami saja.

Kami pergi atas kemauan kami sendiri. Tuhan pun tak melarang keinginan kami. Ia malah menjadikan kami utusan untuk mengabarkan pesan-pesannya pada manusia-manusia baru yang kelak akan kulahirkan.

Tapi lagi-lagi penjaga itu mengarang cerita palsu. Ia sebarkan cerita ke anak-anaknya, tentang seorang perempuan pembangkang yang membuat Tuhan murka hingga mengusirnya ke dunia. Cerita itu disebarkan turun-temurun, lalu kian menyebar ketika anak cucunya turun ke dunia,

Mereka jadikan perempuan sebagai orang yang terhukum. Mereka gunakan kisah pembangkangku untuk mengikat istri-istri mereka dan menakuti anak perempuan mereka.

Mereka ciptakan berbagai aturan yang harus dipatuhi para perempuan. Mereka bungkus sekujur tubuh indah itu dengan kain-kain hitam, mereka sembunyikan kecantikan-kecantikan itu dari semesta. “Hanya aku yang berhak,” begitu mereka selalu berkata,

Mereka tempatkan perempuan-perempuan di dalam rumah, mereka larang perempuan bersuara keras. Tawa perempuan itu memalukan. Nikmat yang dirasakan perempuan adalah sebuah kesalahan. Maka tak boleh lagi perempuan mengeluh dan bersorak saat disetubuhi. Perempuan harus diam, harus menangis!

Tak ada lagi perempuan yang bebas mengeja dan menyerukan nikmat seperti yang dulu ku lakukan. Tak akan ada lagi perempuan yang berenang bebas dan bersetubuh lepas. Mereka samakan perempuan dengan setan, yang akan selalu merayu dan menggoda hingga hidup mereka semua akan sial dan celaka. Sementara mereka terus mengumpulkan perempuan-perempuan di kamar dan memaksa mereka beranak banyak. Anak-anak yang akan meneruskan apa yang mereka ajarkan dan perintahkan.

Aku kalah. Tak mampu kusebar apa yang kuanggap benar. Selalu kalah suaraku oleh mereka yang jauh lebih banyak.

Aku tinggalkan dunia dengan kesedihan dan penyesalan panjang. Sementara namaku selalu mereka sebut setiap waktu dengan cerita-cerita palsu itu.

Aku adalah setan itu. Tubuhku adalah awal semua dosa itu.

Aku adalah Hawa. Akulah perempuan pertama.


Karya : Okky Madasari

Memosisikan Diri Sebagai Leeteuk Super Junior

  Happy15thAnniv_WalkTogether! Park Jung Soo a.k.a Leeteuk Super Junior Bagiku, sosok Leeteuk wajib dicintai. Jangankan aku, ELF (sebutan  p...