Aku selalu percaya, kami berdua
dilahirkan bersama. Tak ada yang lebih dulu, tak ada yang lebih tahu. Bukan dia
yang lebih tua, bukan aku yang lebih kuasa.
Kami tumbuh bersama. Meraba
setiap yang tertangkap mata, mengendus satu persatu hal yang baru. Dari
sepasang bayi yang bicara hanya dengan air mata, kami menjadi kanak-kanak yang
sepanjang hari bermain dan tertawa.
Setiap pagi kami berlarian di
antara pohon-pohon yang penuh buah bergelantungan. Pada sore hari kami memetik
bunga-bunga yang selalu mekar dan menyerbakkan wewangian. Pada hari-hari
tertentu kami mencebur ke telaga penuh madu, berenang dalam cairan yang
lengket, lalu saling menjilati tubuh kami hingga masing-masing kami berteriak
menahan geli.
Kala rindu matahari kami menuju
ke tanah lapang. Merebahkan diri diatas rumput, berpelukan, berguling-gulingan,
lalu kembali terlentang. Membiarkan setiap sudut kami dihangatkan matahari,
lalu dibelai nyaman oleh tangan-tangan kami. Tanganku di tubuhnya, dan
tangannya di tubuhku.
Segala hal bisa kami lakukan.
Semua yang kami inginkan bisa kami dapatkan. Kami diciptakan dengan kebebasan.
Kami dihadirkan untuk tahu apa itu kebahagiaan. Kami hidup tanpa larangan. Kami
lahir bukan untuk ketakutan.
Hingga kemudian tubuhku mekar
seiring waktu, dan tubuhnya meninggi melampauiku. Ada sepasang payudara tumbuh
di dadaku, sementara sebatang daging terus memanjang di selangkangannya. Kami
tak lagi serupa. Dadaku yang ranum terus membuatnya kagum. Belalainya yang
kokoh dan menegang, membuatku tak kuasa untuk tidak memegang.
Kami kini sepasang remaja yang
penuh hasrat. Di telaga madu tubuh kami berpadu. Kami bercumbu dan saling
menjilat. Teriakan kami bukan lagi karena geli. Teriakan ini adalah cara kami
berterima kasih pada dia yang menciptakan kami untuk merasakan kenikmatan ini.
Pada dia yang telah memahat tubuh kami hingga seindah ini. Dia yang memberi
kami indera, dia yang memberi kami hasrat.
Kami lakukan hal yang sama dengan
kebahagiaan yang selalu berbeda setiap harinya. Kami jelajahi setiap sudut
tubuh, kami lakukan cara-cara baru, yang membuat semua yang ada di sekitar kami
menahan cemburu. Pohon-pohon berbisik iri, angin berhembus gelisah, dan langit
menyuarakan rindu. Mereka ingin juga merasakan apa yang tengah kami rasakan.
Begitu pula dia, sosok makhluk yang dicipta sebagai penjaga. Ia berlari menemui
pencipta kami.
“Mereka tidak boleh bersetubuh
seperti itu,” katanya pada Tuhan.
“Kenapa?” Tuhan balik bertanya.
“Itu terlalu nikmat, ya Tuhan.
Itu berbahaya.”
“Kenapa berbahaya?”
“Semua yang terlalu enak tidak
baik untuk kami. Kami akan lupa padamu. Kami bisa lupa menyembahmu.”
“Tapi mereka tidak lupa
kepadaku,” jawab Tuhan. “Lagipula aku menciptakan kalian bukan hanya untuk
menyembahku sepanjang hari, aku mau kalian bahagia. Karena dengan bahagia,
kalian pun akan membuatku bahagia.”
Penjaga tak menyerah. “Bagaimana
jika semua makhluk jadi ingin melakukannya?” Ia kembali bertanya.
“Ya tinggal lakukan saja seperti
apa yang mereka lakukan,” jawab tuhan
Penjaga itu terdiam. Lalu
setengah berbisik ia berkata, “Tapi aku tidak kau ciptakan berpasangan.”
Tuhan tertawa. Lalu ia berkata,
“Kenapa kau tak bilang saja dari tadi kau juga ingin merasakan apa yang mereka
rasakan.”
Tuhan selalu murah hati.
Diciptakannya sesosok makhluk yang serupa dengan diriku untuk jadi pasangan
penjaga itu. Penjaga itu kegirangan. Ia sudah tak sabar. Makhluk baru itu ia
angkat seperti barang, segera ia bawa pulang. Ia gunakan tubuh itu untuk
mendapat nikmat yang ia mau, tanpa pernah bertanya apa perempuan itu mau. Ia
jadikan dirinya penuh kuasa, sebab baginya perempuan itu ada untuk melakukan
yang ia kata. “Tuhan menciptakanmu untukku. Untuk melayaniku dan mengikuti
perintahku,” katanya berulang kali.
Nama tuhan senatiasa ia pinjam
untuk membuat perempuan itu menurut dan percaya. Ia jadikan dirinya wakil Tuhan
yang mengukur tiap pahala dan dosa. Pahala untuk setiap kepatuhan dan dosa
untuk segala bentuk pembangkangan.
Aku tak tahan melihat itu semua.
Kutemui Tuhan untuk bertanya, “Apakah memang seperti itu yang kau mau, wahai Tuhan?”
Tuhan menggeleng. “Aku hanya
menciptakan kalian. Kalian sendiri yang yang akan menentukan bagaimana hidup
kalian.”
Aku kecewa. Tapi kutemukan
kebenaran dalam kata-katanya. Ia hanya menciptakan kami. Selanjutnya kehendak
kami lah yang akan menentukan nasib kami.
Aku mendatangi perempuan itu.
Kuajak dia pergi untuk membebaskan diri. Dia menolak. “Aku diciptakan untuk
melayaninya. Aku terbuat dari rusuknya,” kata perempuan itu.
Aku marah sekali.
“Siapa bilang kamu terbuat dari
rusuknya?” tanyaku.
Dia diam, tak menjawab
pertanyaanku.
“Tuhan yang menciptakanmu, bukan
laki-laki itu,” kataku.
Dia tetap diam. Aku tak sabar. Ku
tarik tangan perempuan itu keluar dari rumahnya. Pada saat yang bersamaan
penjaga itu datang. Merebut perempuan itu dan membawanya masuk kembali ke dalam
rumah. Mengurung perempuan itu di dalamnya.
Aku marah kepada laki-laki itu,
marah pada pencipta kami yang membiarkan semua ini terjadi. Aku tak tahan
lagi tinggal di tempat abadi ini. Aku tak bisa lagi merasakan bahagia ketika
tepat di depan mataku ku lihat perempuan lain begitu sengsara dan tak berdaya,
sementara aku tak bisa melakukan apa-apa.
Aku memilih menyingkir. Kuajak
kekasihku pergi meninggalkan tempat ini. Ia menyambut dengan senang hati. Ini
akan jadi perjalanan kami. Kami akan mendapat kebebasan seutuhnya: Di mana
setiap hal yang terjadi merupakan buah dari kehendak kami. Kami akan jadi
manusia yang sebenarnya: Yang tak hanya hidup untuk kenikmatan kami saja.
Kami pergi atas kemauan kami
sendiri. Tuhan pun tak melarang keinginan kami. Ia malah menjadikan kami utusan
untuk mengabarkan pesan-pesannya pada manusia-manusia baru yang kelak akan
kulahirkan.
Tapi lagi-lagi penjaga itu
mengarang cerita palsu. Ia sebarkan cerita ke anak-anaknya, tentang seorang
perempuan pembangkang yang membuat Tuhan murka hingga mengusirnya ke dunia.
Cerita itu disebarkan turun-temurun, lalu kian menyebar ketika anak cucunya
turun ke dunia,
Mereka jadikan perempuan sebagai
orang yang terhukum. Mereka gunakan kisah pembangkangku untuk mengikat
istri-istri mereka dan menakuti anak perempuan mereka.
Mereka ciptakan berbagai aturan
yang harus dipatuhi para perempuan. Mereka bungkus sekujur tubuh indah itu
dengan kain-kain hitam, mereka sembunyikan kecantikan-kecantikan itu dari
semesta. “Hanya aku yang berhak,” begitu mereka selalu berkata,
Mereka tempatkan
perempuan-perempuan di dalam rumah, mereka larang perempuan bersuara keras.
Tawa perempuan itu memalukan. Nikmat yang dirasakan perempuan adalah sebuah
kesalahan. Maka tak boleh lagi perempuan mengeluh dan bersorak saat disetubuhi.
Perempuan harus diam, harus menangis!
Tak ada lagi perempuan yang bebas
mengeja dan menyerukan nikmat seperti yang dulu ku lakukan. Tak akan ada lagi
perempuan yang berenang bebas dan bersetubuh lepas. Mereka samakan perempuan
dengan setan, yang akan selalu merayu dan menggoda hingga hidup mereka semua
akan sial dan celaka. Sementara mereka terus mengumpulkan perempuan-perempuan
di kamar dan memaksa mereka beranak banyak. Anak-anak yang akan meneruskan apa
yang mereka ajarkan dan perintahkan.
Aku kalah. Tak mampu kusebar apa
yang kuanggap benar. Selalu kalah suaraku oleh mereka yang jauh lebih banyak.
Aku tinggalkan dunia dengan
kesedihan dan penyesalan panjang. Sementara namaku selalu mereka sebut setiap
waktu dengan cerita-cerita palsu itu.
Aku adalah setan itu. Tubuhku
adalah awal semua dosa itu.
Aku adalah Hawa. Akulah perempuan
pertama.
Karya : Okky Madasari